Halaman

Rabu, 21 Maret 2012

A JOURNEY TO THE SUBCONSCIOUS WORLD

Tanggal 17 hingga 18 Maret 2012 adalah hari yang spesial. Betapa tidak, saya, dan sekitar 16 rekan lain, mengalami sebuah "trance" dan pencerahan yang luar biasa ketika mengakses pengetahuan dahsyat mengenai hypnosis, dari Grand Master kami, Bapak Yan Nurindra. Acara ini bertajuk IBH Certification Workshop, mulai dari level fundamental hingga advance.

Trance bareng sang Grand Master, Bapak Yan Nurindra.
Hari pertama, Pak Yan, dibantu co-trainer Mas Sydney Panjiagung, membekali kami secara komprehensif mengenai sejarah hypnosis, mekanisme kerja pikiran manusia, consciousness state, teori-teori dasar hypnosis serta aplikasinya, dan lain-lain. Di sini formasi workshop 30% teori dan 70% praktek. Kenapa praktek mendominasi, karena target dari pelatihan ini adalah bagaimana peserta mampu menjadi praktisi hypnosis yang handal.

Saat praktek, Pak Yan coba menanggalkan aksesoris-aksesoris kami di dunia sadar. "Siapa pun Anda, mau direktur, dokter, psikolog, atau mahasiswa, Anda adalah sama. Lepaslah semua aksesoris itu," katanya.

Bukan tanpa alasan Pak Yan mengatakan hal itu. Peserta sertifikasi ini memang berasal dari berbagai latar belakang, baik profesi maupun daerah yang berbeda. Saya adalah praktisi kreatif periklanan. Dr. Lukas Kristanda adalah dosen dan direktur utama RS Atmajaya. Pak Koesbiyantoro bertugas di Departemen Perhubungan. Bapak Jalu Waluyo adalah seorang pengusaha. Pak Bambang Sugiantoro seorang praktisi SDM, sama halnya dengan Pak Boyke Yanuar Lubis. Pak Chardinal adalah dosen di STAIN Batusangkar. Mas Kelvin Kristanto adalah pengusaha kuliner. Drg. Sukorin D. adalah seorang dentist. Mas Sufyan Riadi mahasiswa UIN sekaligus professional magician. Bu Suryani adalah praktisi pendidikan. Pak Royke adalah seorang engineer. Pak Teteng Jumara bertugas di Pemda Tangerang, sekaligus penulis beberapa buah buku. Sementara Pak Aries, pak Darmawan, dan Mas Rizky, saya kurang begitu tahu karena ternyata beliau hanya ikut sehari pelatihan.

Kalau hari pertama lebih dominan praktek mengenai test sugestibilitas, pre-induksi, induksi, deepening, therapy suggestion sederhana, idea motor response, dan termination, maka hari kedua kami berlatih melakukan teknik hipnoterapi secara lebih komprehensif. Sebelumnya, kami tentu dibekali dulu teknik-teknik induksi dan deepening yang lebih advance. Begitu juga, kami diajari soal Building Raport, Intake Interview, Exploring Client Modalities, Suggestibility Test & Hypnotic Training, Strategy, dll.

Tentu hari kedua ini, seperti dibilang Mas Sydney, materinya lebih serius lagi. Karena ini berhubungan dengan bagaimana kita meng-handle problem-problem psikosoamtis manusia. Namun, walaupun materinya serius, Pak Yan tetap menghadirkannya dengan sangat inspiratif. Pak Yan mengemas materi bagaimana melakukan Direct Suggestion, Ideo Motor Response, Age Regression, Anchor, Role Model, Desensitization, Future Pacing, Affect Bridge, Informed Child Technique (ICT), Parts Therapy, Chair Therapy, Gestalt Dialogue, Forgiveness Therapy dan Object Imagery, secara dramatik dan mengesankan.

Contoh-contoh yang Pak Yan praktikkan juga benar-benar menunjukkan dirinya sebagai grand master. Misalnya, ketika Pak Yan mempraktekkan regresi, ia melakukan proses induksi hanya dengan menyuruh subjek fokus. Subjek pun langsung mengalami anestesi, yang diindikasikan dengan fenomena kekebalan ketika tangannya dibakar. Beberapa saat kemudian, si subjek memasuki somnambulisme, untuk kemudian diregresi oleh Pak Yan.
Became a Certified Hypnotheraphist.

Kami coba melakukan apa yang Pak Yan contohkan, walau pun masih dengan teknik yang belum disertai improvisasi dramatik. Tapi, seperti Pak Yan katakan, kami yakin, bahwa seandainya hal dasarnya sudah kami kuasai, kami bisa melakukan hal-hal baru yang nggak bakal kalah hebatnya dari apa yang dilakukan president The Indonesian Board of Hypnotherapy itu.

Di momen 2 hari nonstop itu, saya benar-benar berusaha mengakses dan memodel Pak Yan. Mengenai isi workshop, mungkin saya pernah membacanya, memahaminya, dan sedikit menguasainya. Saya pernah mengikuti training hypnosis sebelumnya dan disertifikasi sebagai Turbo Hypnotist oleh sebuah institusi yang kredibel. Tapi, mengenai bagaimana sang Grand Master membawakan workshop dan mempraktekkan kepiawaiannya, ini yang luar biasa! Pak Yan, adalah sosok langka yang belum pernah saya temukan sebelumnya.

Saya  mencatat dan memodel style-nya dalam alam bawah sadar saya. Bagaimana beliau menata kata-katanya; memilih diksinya; bagaimana ia memberi intonasi di bagian tertentu; menghadirkan body kinestetiknya yang penuh semiotika (maklum beliau juga Master NLP); menguasai bidangnya dengan penuh improvisasi; menghadirkan eksperimen-eksperimen hypnosis secara spontan; menyelipkan humor di momen yang pas; dan membuat sistematika workshop yang sulit untuk saya meleng sedetik saja.

Sebagai orang yang tergila-gila dengan pembelajaran alam bawah sadar, saya sangat beruntung bisa dipertemukan dan belajar langsung dengan mahaguru yang inspirasional ini. Bersama beliau, saya benar-benar melakukan sebuah "journey to the subconscious world".

Senin, 05 Maret 2012

BAHASA ADALAH ISI KEPALA KITA



Dulu, kita sebenarnya sangat terbiasa dengan tradisi berpikir cerdas. Ini saya simpulkan dari proses eksplorasi bahasa yang diwariskan orang-orang masa silam. Di Sunda, misalnya, dikenal yang namanya seloka, juga paribasa, sebuah proses komunikasi yang penuh dengan metafora. Dan ini bukan dalam tataran produksi kesenian saja, seperti orang-orang menciptakan syair, pantun, atau puisi, tapi benar-benar terjadi dalam realitas komunikasi sehari-hari.

Di keluarga saya, kakek, ibu dan ayah, sangat sering berkomunikasi secara lateral. Saya akrab dengan majas-majas bertingkat baik yang sederhana sejenis"Herang caina beunang laukna (jernih airnya dapet ikannya)"; "Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok (air yang menetes di batu, pelan tapi pasti bakal membuatnya cowak juga)"; atau yang lebih kompleks lagi dan merupakan wacana sebuah pemikiran.

Sebagai contoh, ketika saya memutuskan hendak kuliah di Jakarta, kakek saya menasihati untuk menjadi seperti air. Ia diserap akar-akar pepohonan, mengalir jernih, dari hulu yang mungkin curam, melewati sungai yang di beberapa titik tenang, memasuki lautan, sesekali diam, kadang membentuk riak kecil kadang menciptakan gelombang besar, menguap menjadi awan, lalu menjelma hujan dan kembali lagi diserap akar-akar pepohonan.

Saya kadang kagum memandang cara kakek atau ayah saya mengeksplorasi hal yang sederhana dan mengaitkannya dalam konteks pemikiran tertentu. Tradisi seperti ini berlanjut hingga saya kuliah dan kemudian terhenti. Saat ini saya lebih akrab dengan produksi bahasa pop sejenis "Sesuatu banget", "Kasian deh lu", "Nggak lah yaw", dan sekarang jargon-jargon alay yang saya nggak ngerti apakah ini memasuki wilayah kemiskinan tradisi berpikir atau justru bagian dari kekayaan berpikir.

Ketika saya mulai tergila-gila dan menjadi pembelajar hypnosis, saya malah seperti teromantisir gaya komunikasi saya sewaktu kecil dulu. Betapa tidak, majas, seloka, analogi, paribasa, adalah salah satu alat hypnosis yang bebas kita eksplor dan ciptakan sendiri.

Nasihat kakek dan ayah-ibu saya yang mereka sampaikan dengan caranya, benar-benar menohok dan membuat saya trance, hingga saya mengingatnya sampai detik ini.

Saya yakin mereka awam dengan teori hypnosis. Tapi sesungguhnya, mereka telah mengaplikasikan hypnotic language untuk saya, seperti halnya seorang hipnotist sekaliber Milton Erickson dan Richard Bandler terhadap clientnya.

Tradisi cerdas berikutnya, justru datang dari cara berpikir mantra, yang ironisnya orang-orang modern menganggapnya mistik, purba, dan bodoh.

Saya pernah menganalisis beberapa mantra, dan ternyata, saya simpulkan sebagai sebuah sugesti cerdas yang penuh dengan metafora-metafora estetik. Mungkin beberapa kelompok gagal memahami kehebatannya karena memandangnya sebagai teks klenik semata, tanpa mendalami makna yang tersimpan di dalamnya.

Saya melihat mantra, sebagai sebuah self suggestion yang di dalamnya terkandung teknik komunikasi alam bawah sadar. Sebagai contoh, saya menganalisis teks mantra yang biasa dipakai di tradisi kanuragan Sunda. Teks itu bernama "Aji Brejamusti". Saya tidak menyertakan teks ini dengan alasan etika. "Brejamusti" dalam versi ini dipercaya mampu menahan pukulan lawan sekeras apapun, dan mampu menghancurkan lawan hanya dengan satu pukulan.

Teks ini memiliki format ritmik dan repetitif dengan bunyi yang konsisten. Isinya memajaskan pukulan lawan yang ringan seperti kapuk dan kapas; sementara tubuh kita seperti batu. Analogi kekuatannya, seperti seribu batu di kepala; selaksa karang di badan.

Untuk orang tertentu mungkin teks ini bullshit. Namun secara teoretik, teks ini adalah self suggestion yang kaya dan mampu menjangkau level gelombang alpha hingga theta, sehingga ia mampu membangkitkan energi dahsyat.

Saya tidak tahu apakah pencipta teks ini mengerti struktur gelombang kesadaran manusia dan tau cara menjangkaunya, atau secara kebetulan saja. Yang jelas, dari diksi yang dipilih, dari format yang sangat terlihat diperhitungkan, dan dari imageri yang konsisten, teks ini adalah sebuah konsep yang tidak bisa diremehkan.

Bila teknik hypnosis mampu membangkitkan fenomena hypnotik seperti time distortion, age regression, anestesi, halusinasi negatif atau positif, membuang rasa sakit, dan sebagainya, maka tidaklah heran kalau teks tadi pun bisa menghadirkan efek kekuatan dahsyatnya. Dan bagi saya, ini bukan efek magik atau klenik. Melainkan rahasia kekuatan manusia yang secara cerdas sengaja dibangkitkan dengan teknik majas, bunyi, repetisi, dan struktur bahasa seperti saya bahas tadi.

Fenomena di atas makin mengukuhkan pemahaman bahwa, bahasa bukan sekedar alat bertutur. Tapi konsep bertutur.

Bagi kakek, ketika menasihati saya, bahasa bukan sekedar alat bertutur untuk berkomunikasi dengan kesadaran saya. Baginya bahasa adalah konsep yang bisa menjangkau pikiran bawah sadar saya.

Begitu halnya dengan mantra. Mantra adalah konsep bahasa yang disusun untuk menjangkau gelombang bawah sadar manusia. Sehingga bukan masalah ketika pikiran sadar sulit mencernanya.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan produksi bahasa di masa sekarang? Kita semakin produktif mengeksplorasinya, atau kita hanya bagian dari generasi pengguna saja?