Halaman

Kamis, 24 Mei 2012

OBJECT IMAGERY UNTUK TRAUMA SAKIT DI KAKI

Baru-baru ini, saya men-therapy seorang sahabat yang kakinya, walaupun dokter bilang secara medis sudah sembuh, tapi masih terasa sakit. Ini adalah bentuk trauma akibat lebih dari 6 bulan kaki sahabat saya merasa sakit yang luar biasa. Alam bawah sadarnya memunculkan terus rasa sakit itu, dengan tujuan baik, agar ia lebih berhati-hati memperlakukan kakinya. Sayang, tujuan baik itu terimplementasikan dalam bentuk rasa sakit, sehingga sahabat saya ini merasa sangat terbatas ketika bergerak. Bahkan, gerakan solat pun menjadi terganggu.
Ihwal asal mula sakit itu, terjadi karena sahabat saya ini mengalami malpraktek ketika proses kelahiran bayi pertamanya di sebuah rumah sakit. Saat injeksi anestesi pada tulang belakangnya dilakukan, terjadi kesalahan fatal, sehingga menyebabkan kelumpuhan pada sahabat saya ini. Setelah melalui proses terapi yang panjang, termasuk fisioterapi, akupresur, dan terapi medis lainnya, akhirnya ia dinyatakan sembuh secara fisik. Namun anehnya, ia masih merasa sakit persis di persendian telapak kaki kirinya.
Ia sudah berupaya berlatih yoga dengan instruktur seorang ahli TAPAS terkenal untuk menghilangkan trauma sakit tersebut. Namun akhirnya ia menghentikan olah yoga itu, karena ia merasa tidak mengalami perubahan sedikit pun.
Setelah sekian lama saya nggak pernah memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan hypnosis buat men-therapy-nya, akhirnya, pada suatu sore, kesempatan itu tiba. 
Proses induksi saya lakukan dengan teknik speed induction lewat eye fixation. Setelah deepening sampai dalam, saya menggunakan direct suggestion dengan menghilangkan sensasi sakitnya secara langsung. Setelah saya konfirmasi dengan idea motor response (IDR), via gerakan jari, ternyata sahabat saya masih merasakan sakit. Upppfff, direct suggestion nggak bekerja di sini.

Berikutnya saya gunakan teknik object imagery, dengan membuat metafora tombol volume. Saya perbesar dulu rasa sakitnya hingga angka 10, dan wajah sahabat saya tampak kesakitan. Setelah di level puncak, saya minta ia untuk mengecilkan volume sakit itu hingga level 0, dan bersamaan dengan itu, rasa sakit pun hilang.

Setelah saya konfirmasi lewat IDR, ternyata memang rasa sakit itu hilang.
Berikutnya saya mengedukasi ia, bahwa rasa sakit adalah persepsi. Keputusan untuk sehat atau sakit sepenuhnya ada pada dirinya sendiri. Ketika ia memutuskan untuk tetap memelihara rasa sakit itu, maka ia sudah tahu rasanya, betapa terbatas gerak ia. Dan bila ia memutuskan untuk sembuh, maka kebebasan bergerak dan kebahagiaan akan datang mengiringinya.

Proses therapy selesai, dan saya akhiri dengan amplifying rasa sehat, nyaman, bahagia dan semangat.
Idealnya, terapi dilakukan paling tidak tiga kali, sehingga insya Allah kesembuhannya permanen.
Dan mungkin akan coba kami lakukan lagi.
Wallahu alam bishowab.