Halaman

Senin, 12 September 2011

HYPNOANESTHESIA BUAT ISTERI TERCINTA


"Tarik nafas lewat hidung dalam bilangan 7, serap seluruh energi positif di ruangan ini, lalu tahan 4 detik. Hembuskan pelan lewat mulut, pelan saja, buang seluruh energi negatif dalam tubuh, dan biarkan, kenyamanan yang luar biasa menyelimutimu."

Begitulah saya mengawali induksi hypnosis untuk isteri, yang sudah 4 jam lalu mengeluh, karena penyakitnya sejak melahirkan anak ketiga (ambeien atau wasir atau hemorrhoid) kambuh.

Sebelumnya, saya tidak pernah mengaplikasikan hypnotheraphy untuk orang lain. Hanya untuk diri sendiri ketika saya harus berhenti merokok dalam waktu cepat. Selebihnya, saya hanya mengaplikasikan tipe hypnostage, iseng sama anak saya dengan membuatnya tiba-tiba mampu melakukan gerakan-gerakan Bruce Lee, amnesia dengan lupa pada bilangan tertentu, atau membikin mereka relaksasi mendalam saja ketika mereka terlihat panik saat ujian.

Mengisengi isteri, saya selalu gagal. Karena isteri saya tipikal orang yang kritis dan selalu mempertanyakan apa pun yang saya bilang. Dalam bahasa slank, tipe orang ngeyel, hehehe.

Tapi untuk kali ini, sepertinya dia serius ingin menyingkirkan rasa sakit yang menurutnya luar biasa. Saya juga sangat serius ingin menolongnya. Kalaupun dia melakukan "perlawanan", saya baru saja mempelajari gaya Ericksonian. Seperti air, saya akan mengalir mengikuti alur perlawanannya. Saya akan menggunakan energi ngeyelnya untuk menggiring dia ke dunia relaksasi yang sangat dalam. Jauh lebih dalam dari biasanya.

Setelah meyakinkan dia, bahwa kekuatan energi otaknya mampu menyingkirkan rasa sakit dalam hitungan menit, saya mulai menginduksinya. Saya memintanya untuk tidur telentang serileks mungkin. Ia menolak. Dan dalam induksi, penolakan seperti ini sudah merupakan indikasi kegagalan. Teori dasarnya, hal terpenting dalam hypnosis adalah membangun sebuah rapport, sebuah link, sebuah komunikasi sinergik yang positif.

Oke, saya yang mengalah. Saya biarkan isteri saya berbaring semaunya. Menyamping. Saya juga biarkan lampu kamar nyala seperti keinginannya. Lalu saya lanjutkan induksi.

Setelah saya bimbing dia untuk menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan, saya memintanya menutup mata. Saya ingat, isteri saya adalah tipe analitik yang senantiasa kritis mengamati situasi. Karena itu, saya manfaatkan sisa cahaya lampu yang saya yakin membekas di kelopak matanya sebagai titik tolak persepsi.  Saya memintanya untuk membayangkan cahaya lampu di atas langit-langit mendekat ke arahnya, hinggap di ubun-ubunnya, menghantarkan kehangatan yang luar biasa.

Cahaya itu membuat otot-otot di sekitar kepalanya seakan lepas, ringan, dan nyaman.

Lalu cahaya itu saya giring seakan menyaputi wajahnya, lehernya, pundaknya, kedua tangannya, dada, punggung, perut, pinggang, paha, kaki hinggi telapak dan jari-jemarinya. Setiap pergerakan cahaya membuat otot-otot di sekitarnya ringan, lepas, lemas, rileks, dan seribu kali lebih nyaman dari sebelumnya. Sehingga ia merasa malas untuk sedikit pun bergerak. Karena diam jauh lebih enak dari bergerak. Dan ketika cahaya menyentuh mata, maka otot mata pun berat, jatuh dalam kantuk yang dalam dan luar biasa.

Setelah saya melihatnya ia sudah sedemikian rileks, maka saya lakukan deepening. Saya mengajaknya berada di sebuah lapang luas, di mana ia tengah membentangkan kedua tangannya. Ia tarik nafas dan ia serap energi positif di sekitarnya. Lalu ia hembuskan nafas dan ia keluarkan seluruh energi negatif dalam tubuhnya.

Saya memintanya berjalan mundur 10 langkah. Dan setiap ia melangkah mundur, ia masuk ke dunia releksasi 100 x lebih dalam. Dan dalam langkah ke-10, ia "tidur" sangat dalam.

Saya yakin gelombang otaknya sudah memasuki level Alfa dalam (8 Hz). Saya coba melakukan deepening sekali lagi, dengan mengajaknya menghitung mundur dari 5 hingga 1. Dan pada hitungan ke-1, ia saya pastikan sudah masuk di gelombang Teta (4-7 Hz), di mana semua sugesti yang saya berikan akan sangat efektif.

Setelah proses deepening selesai, saya mengajaknya untuk fokus di wilayah yang sakit. Saya mengajaknya untuk membayangkan, bahwa wilayah yang sakit itu rasanya panas seperti tertabur 100 biji cabai. Lalu saya memintanya seakan melihat, saya mengambil biji cabai dari rasa sakitnya, satu persatu. Setiap biji cabai saya ambil, ia akan merasakan sakitnya berkurang perlahan. Pada saat biji cabai ke-100 saya ambil, maka rasa sakitnya hilang. Dan yang terasa hanya jejak hangatnya saja yang membuat area sakit tadi berganti nyaman.

Karena saya kuatir rasa hangat masih akan menjejakkan trauma sakit, saya ajak ia untuk mengubahanya menjadi sejuk. Saya kembali mengajaknya berhitung mundur dari 5 hingga 1. Setiap hitungan mundur, maka rasa hangat akan berubah menjadi sejuk. Dan begitu seterusnya, hingga hitungan ke 1, rasa sejuk itu menjadi 100 kali lebih sejuk dan nyaman.

Proses sugesti imagery sudah berlangsung. Maka kini saatnya saya melakukan tahap awakening/emerge. Saya akan membangunkan isteri saya.

Di tahap ini, saya sampai harus dua kali melakukan proses awakening. Mungkin karena isteri masuk ke kategori coma statik, relaksasi yang jauh-jauh-jauh sangat dalam, sehingga ia merasa malas untuk bangun. Saya tidak panik, karena kalau pada tahap ke-dua dia tidak bangun juga, saya sudah tahu cara apa yang saya pakai.

Tapi alhamdulillah, di tahap awakening ke-dua, ia bangun dengan perasaan jauh lebih segar, lebih tenang, dan lebih sehat. Ia merasa aneh, karena ia seakan sudah tidur berjam-jam. Padahal saya kasih tahu ia cuma tidur  sekitar 30 menit kurang.

Yang ia merasa lebih aneh lagi, rasa sakit yang sebelumnya benar-benar menggila, hilang seketika!!!
Saya bilang padanya, ia harus tetap ke dokter untuk mengobatinya.

Tuhan telah memberi keajaiban pada umatnya, lewat teknologi pikiran yang luar biasa.

Wallahu alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar